AWALI DENGAN SMILE

Semua yang baru ada di sini

Featured Posts Coolbthemes

Rabu, 14 November 2012

Terjebak Keharusan, Kebiasaan, dan Keterpaksaan


Setiap kali memulai pagi setelah dua tanggal lima berlalu, selalu ada kata bismillah untuk mengawalinya. Apa yang paling peting dari hidup ini kalau kita tidak menemukan kepuasan atas apa yang kita hadapi. Puas bukan hanya pada sebuah keberhasilan yang berbuah kebahagian nyata dan langsung. Siapa misalnya yang tak puas, dapat menyelesaikan tanggungjawab yang diebankan dengan baik. Siapa yang tak puas ketika keinginan-keinginan yang bagi sebagian orang sulit berhasil dicapai dengan sukses. Siapa yang tak puas jika keinginan untuk punya barang yang disukai tercapai. Namun dibalik kepuasan ada sebuah makna yang selalu terucap kalau manusia tidak pernah merasa puas. Lagi, lagi dan lagi.
            Puas bukan hanya sekedar hasil, namun puas merupakan proses. Keadaan apapun, kondisi apapun proses akan menentukan segalanya. Pagi ini kita mulai dengan puas bisa menghadapi masalah besar.
            Seandainya ada yang tiba-tiba bertanya pada dirimu, apa masalah besar yang kamu hadapi? Bagi sebagian orang akan berpikir dulu untuk menjawabanya karena begitu banyak masalah besar yang dihadapi. Namun bagi sebagaian orang lain akan menjawab masalah terbesar yang pernah dihadapi adalah menghadapi diri sendiri. Bagi yang berangapan diri seindirilah yang menjadi masalah  besar, rasanya akan setuju dengan cerita kecil pagi ini.
            Saya maaf menggunakan kata subjek ini, karena saya lebih mewakili apa cerita kita. Doa akan selalu dikabulkan Tuhan percayalah selama itu membawa kebaikan untuk kita. Awal tahun 2012 ini saya punya sebuah doa agar diberikan kesempatan untuk mencoba menjalin sebuah hubungan yang lebih serius dengan lawan jenis. Kata ibu saya, umur saya memang sudah tak apa mencoba hal ini. Kata ibu saya lagi Tuhan selalu sayang dengan orang yang menyelaraskan doa dan ikhtiarnya. Ajaib, belum cukup satu bulan akhirnya doa saya dengar.
            Bismillah saya memang selalu mendatangkan hasil, bagaimanapun dan entah apapun namanya entah kebetulan, entah ada kesempatan, entah memang disengaja, dan entahlah, yang pasti ini sudah diatur Tuhan. Hingga akhirnya pertemuan itu terjadi, lagi, lagi dan lagi.  Hingga akhirnya komunikasi itu terjaga dengan kata saling. Saling menanyakan kabar, saling menanyakan kesibukan, saling meminformasikan, saling berbagi cerita. Hingga akhirnya tak lengkap tak ada kabar dari mu, tak lengkap tak menanyakan kesibukan mu, tak lengkap tak saling menginformasikan, dan tak lingkap tak saling berbagi cerita.
            Peremuan itu hatinya mudah luluh, untuk ini mungkin lebih cocok untuk kategorinya untuk saya. Dan untuk beberapa perempuan yang setuju. Selalu mencoba menyakinkan diri, ini hanya hubungan biasa saja,  dengan prinsip jalani saja. Tapi hati tak bisa dibohongi. Munafik, itu bukan saya, kata tak lengkap mulai berubah menjadi keharus, lagi, lagi dan lagi. Itu yang saya rasakan.
            Saya harus tau kabar mu, saya harus tau kesibukan mu, saya harus tau informasi tentang mu, saya harus bercerita pada mu. Makin kesini, makin rumit, karena bagi saya hanya butuh beberapa waktu untuk menjadikan kata harus menjadi kebiasaan, dari kebiasaan menjadi kebutuhan. Dan pertama kali saya katakana kalau semua itu terjadi bukan tanpa alasan, bukan hanya keinginan, tapi hanya karena saya diberi celak untuk mengubah sebuah keharus menjadi kebutuhan.
            Siapa yang menolak diberikan kebaikan, saya tidak akan menolak. Kita lanjutkan, semakin kesini, semakin rumit, semakin banyak keharusan yang  menjadi kebiasaan. Bukan saya tidak dapat nasehat atau petuah, bahkan saya beberapa kali diingatkan, untuk mengurangi  kebiasaan baru ini. Tapi setiap ada nasehat, setiap itu pula saya lupa dengan nasehat itu. Baru ingatlah saya sekarang kalau logika itu akan dikalahkan oleh perasaan. Perasaan saya memang selalu menang ketika berperang melawan logika, itulah saya.
            Hari, minggu, bulan, satu bulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, bulan berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Lumayan lama makin tidak menentu. Bahkan tingkat keparahan mulai muncul. Inilah titik dimana penjemputan kesadaran mulai dibangkitkan, satu persatu logika itu mulai menang. Mulai melakukan perlawanan hebat, keras dan luar biasa. Keparahan mulai terasa menyakinkan saat kebutuhan menjadi dipaksakan.
            Dipaksakan arti katanya saja sudah akan kelihatan hasilnya, apalagi sampai benar-benar dilakukan. Tapi jujur waktu itu memang saya mulai melakukan paksaan, saya mulai meminta yang saat ini baru saya sadari itu bukan untuk saya. Usaha saya dengan bernada paksaan begitu menurut mu, membuat semuanya menjadi rumit, atau lebih tepatnya kacau.
            Logika saya mulai menjemput kesadaran yang ditutupi kata cinta. Satu hari, dua hari, seminggu, dua minggu, mulai muncul kata
saya salah berharap, kata hati saya. 
ya saya salah berharap, kata sahabat saya, 
saya salah berharap kata saudara saya, 
saya salah berharap kata ibu saya.
           
dan muncul
            untuk apa saling bertukar kabar, untuk apa saling menanyakan kesibukan, untuk apa saling memberikan informasi, untuk apa saling bercerita. Apa guna kalimat saling melengkapi, jika hanya mendatangkan sebuah kekhwatiran, kegelisahan, kecemasan, kegundahan, dan keraguan, dan tanpa ada kepastian. Memang jelas kepastian hanya milik_Nya, namun jika hubungan ini membuat atau menjadi penghalang kita “maaf saya gunakan kata kita”   untuk mencapai  bahagia. Tanpa harus meminta, tanpa harus menjelaskan kepada mu, setuju atau tidak, memang ini harus berakhir. dan seperti juga kata mu, cinta memang tak bisa dipaksakan.

            Begitulah, kenapa  cerita ini harus saya sampaikan, cukup saya tidak ada saya berikutnya lagi. Apa lagi saat kebutuhan menjadi dipaksakan. Kasihan, memang kasihan sekali, saya.
Maaf, Sedikit memang yang saya bagikan, tapi untuk yang satu ini bukan banyaknya yang penting tapi niatnya. Bagi saya berbagi merupakan obat. Dan bagian yang panjangnya telah saya bagi dengan Tuhan, dan saya mendapat obatnya.
             Potong-potongan lagian sengaja saya simpan, saya tutup rapat, dan saya kunci. Tahu kenapa karena itu bagian-bagian yang menyakitkan. Saya tak ingin membagi kesakitan itu, karena untuk mengobatinya kembali saya belum tentu siap.
            Sebelum cerita pagi ini saya tutup dengan Alhamdulillah, satu detik, dua detik, tiga menit, empat menit, satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, dua bulan, dan dua kali tanggal lima. Sekarang saya jauh lebih baik. Bagi saya soal cinta bukan hal yang main-main.
            Semoga bahagia yang saya cari secepatnya saya dapatkan, begitu juga dengan mu,..
Dbesni.

Senin, 12 November 2012

Tak Ada Kata Selain Mulai, Untuk Saat Ini

Tak begitu ingat ini kiriman dari siapa, namun bukan itu yang menjadi masalah. Coba baca mungkin ada sesuatu yang bisa dibawa pulang atau menjadi tanda aku akan selalu ada walaupun waktu memaksa kita untuk sampai pada saat seperti ini.


Jika suatu hari kamu ingin menangis, hubungi aku, aku tidak  janji aku dapat membuatmu tertawa, tapi aku dapat menangis dengan mu,jika suatu hari kamu ingin melarikan diri, jagan takut untuk hubungi aku, aku takkan menanti kamu berhenti, tapi aku akan berlari dengan mu, jika suatu hari ingan dengan seseorang hubungi aku, aku akan kesana untuk mu dan aku akan sangat diam, jika suaru hari kamu hubungi aku dan tak ada jawaban cepatlah datang untuk lihat aku, barangkali aku memerlukanmu, kamu adalah teman dan aku berharap itu benar, apapun yang terjadi aku akan ada untuk mu sampai akhir.

Memang terkesan berlebihan atau para temuda menyebut ini alay tidak apa. Bagian terpenting ini dari tulisan tulisan pendek ini, selalu berusaha ada dalam kondisi apapun. Tapi ini bukan semua keharus, namun sebuah keinginan. Doakan.



Kamis, 08 November 2012

resensi



Antara Dunia Imajinasi dan Dunia Nyata

Segala sesuatu diciptakan oleh Sang Pencipta dua kali,  ini pesan yang disampikan Donny Dhirgantoro lewat buku keduanya yang berjudul ‘2’. Sepintas jika melihat covernya, kita akan kebingungan,  tanda tanya besar akan muncul ada apa dengan angka 2?.  
2 merupakan buku ke dua Donny Dhirgantoro setelah 5 cm yang menjadi best seller nasional pada tahun 2005. Buku ini bukan hanya menceritakan kisah atlet bulutangkis ataupun kisah bulutangkis Indonesia. Tapi sebuah kisah inspiratif yang halaman demi halamannya menyajikan kalimat-kalimat  mujarap dan sangat bagus untuk kita resapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam buku 5 cm Donny menyelipkan pesan melalui kalimat, “setiap kamu punya mimpi atau keinginan atau cita-cita, kamu taruh disini, didepan kening kamu, jangan menempel, Biarkan Dia, menggantung mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Pesan yang disampaikan lewat kisah persahabatan dan perjuangan mewujudkan mimpi dan cita-cita.

Jumat, 06 April 2012

Tersimpan di Album

Tersimpan di album PC, sudah berdebu, tapi masih layak untuk dipublis, perjalan di Medan 23-28 November 2010.



Kamis, 22 Desember 2011

Akhir pekan menyenangkan


Kamis, 21 Juli 2011

Motivasi Membangun Gerakan Baca

Hanya terlihat jejeran puisi dan kata-kata motivasi karangan sastrawan-sastrawan ternama ketika pertama kali menginjakkan kaki di halaman Rumah Puisi. Karangan para sastrawan itu adalah Taufiq Ismail, Ahmad Tohari dan Goenawan Mohamad. Puisi dan kata-kata motivasi itu sengaja ditulis pada pamflet yang tersusun rapi dari gerbang sampai ujung halaman. Rumah Puisi, begitu tempat itu diberi nama yang terletak di Nagari Angek Jl. Raya Padang Panjang- Bukittinggi Km 6 Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat.
Beranjak masuk ke dalam Rumah Puisi yang digagas Taufiq Ismail ini, akan terlihat lima lemari besar yang memajang 7000 buku. Di antara ribuan buku ini, 50% nya buku sastra, 30% buku umum dan 20% buku agama. Ada buku karya lengkap Abdullah bin Abdullah Kadir Munsyi, karya Amin Sweeney, Ainun, dan Bacharuddin Jusuf Habibie. Menurut pengelola Rumah Puisi Muhammand Subhan, buku puisi terbaru Taufiq Ismail Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit (4 jilid) termasuk buku yang sering dibaca dan dicari pengunjung.

Pencerahan di Tengah Konfilk

Pencerahan di Tengah Konfilk
Oleh: Diana Besni

Hening dan sesekali terdengar suara tembakan. Terlihat orang-orang berpakaian seragam loreng berlarian menenteng senjata. Tiga puluh pasang mata tertegun dan terkesima ketika menyaksikan film dokumenter The Black Road In Aceh garapan William Nessen, seorang sutradara asal Australia yang belakangan juga disebut sebagai wartawan. Pemutaran film ini merupakan rangkaian dari acara Salam Ulos Pelatihan Jurnalistik Damai yang bertemakan ‘Tak Hanya Menuliskan Tapi Juga Mendamaikan’, yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Usu Universitas Sumatera Utara (USU) sejak Selasa hingga Minggu (23-28/11) lalu.

Film berdurasi satu jam ini mengambil lokasi di Aceh. Secara garis besar, film ini berisi liputan perlawanan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 2001 sampai 2003 lalu. Film ini sempat dilarang penayangannya oleh Lembaga Sensor Film Indonesia (LSFI) pada tahun 2006, dikarenakan sarat dengan muatan kekerasan dan menggambarkan kekejaman oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap GAM. “Takut membangkitkan luka lama karena kondisi Aceh waktu itu sudah mulai kondusif,” tutur Hotli Simanjutak, wartawan European Pressphoto Agency (EPA), selaku pemateri malam itu, Selasa (23/11).

Selesai pemutaran film, Aula Utama Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Regional 1 kembali riuh. Setiap peserta diminta menyampaikan pendapat mengenai film yang baru saja ditonton. Satriani M dari LPM Identitas Universitas Hasanuddin Makasar, manganggap film tersebut terkesan memperlihatkan kekejaman TNI saja. “Tidak berimbang,” ungkapnya. Sementara itu M. Nazar Ahadi dari LPM Lensa Universitas Muhammadiyah Aceh, mempertanyakan kenapa harus menonton film dengan latar kampung halamannya pada pelatihan tersebut. Hotli pun angkat bicara. Menurutnya, selain membuat bulu kuduk merinding, film yang pernah digadang-gadangkan sebagai produk jurnalistik tersebut, pada hakikatnya bukanlah produk jurnalistik. “Film besutan orang bule Autrali ini belum menjunjung kode etik jurnalistik secara utuh,” terang Hotli.

Siang hari sebelum film ini diputar, Usman Kasang, redaktur Metro TV, menyampaikan materi bagaimana menuju jurnalisme damai. Sejak awal, ia menjelaskan konsep jurnalisme damai sebagai salah satu sikap kritis terhadap berbagai dampak dari aksi-aksi kekerasan pada masyarakat di daerah konflik. Kemudian mencoba menarik hikmah di balik konflik tersebut untuk kedamaian masyarakat. “Kedamaian itu adalah harapan setiap orang,” terangnya di depan peserta dari berbagai LPM di Indonesia, seperti LPM Manunggal di Universitas Diponegoro Semarang, LMP Idealita STAIN Batusangkar Sumatera Barat, LPM Suara Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang, LPM Akademika Universitas Udayana Denpasar Bali, serta LPM lainnya di Sumatera.

Ia melanjutkan, jurnalisme damai mesti diterapkan dengan tujuan menguatkan identitas kelompok, mengurangi perpecahan pada masyarakat yang semakin terfragmentasi dan intoleran. Apa lagi pada daerah konflik, masyarakat langsung mengalami dampak yang luar biasa. “Dalam hal ini media punya kewajiban moral mendamaikan masyarakat,” ungkapnya.

Untuk mencapai keberhasilan dalam jurnalisme damai, seorang wartawan harus mampu berdiri di tengah-tengah konflik yang terjadi, menyajikan berita berimbang. Hal ini disampaikan Hanif Suranto, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). “Jurnalisme damai tidak menambah korban tapi mengayomi korban,” tegasnya.

Pelatihan ini juga menghadirkan, Luzi Diamanda, wartawan Gatra di Riau, dengan materinya teknik liputan dan menulis jurnalisme damai di wilayah konflik. Sedangkan Hendra Harap, dosen FISIP Ilmu Komunikasi USU, mengulas penerapan jurnalistik damai di pers kampus. “Di kampus pun juga terjadi konflik, bukan?” terangnya, Kamis (25/11) lalu.